Minggu, 09 Oktober 2011

Arus Globalisasi Dan Pengaruhnya Terhadap Budaya Lokal


           Seiring dengan berkembangnya zaman, arus globalisasi semakin deras melewati batas-batas budaya yang dahulunya bahkan mungkin tak dapat dilewati. Namun, kini dengan kecanggihan teknologi, segala hal sangat mudah untuk dilakukan. Beberapa puluh tahun yang lalu, orang-orang jaman dahulu mungkin harus berjalan kaki menuju kantor pos untuk mengirim sepucuk surat dan kemudian harus menunggu surat balasan dalam jangka waktu yang cukup lama. Beberapa tahun belakangan ini, Anda sudah tidak perlu repot mengeluarkan tenaga untuk mengirimkan surat. Teknologi telah menyedikan layanan SMS atau E-mail bagi anda yang ingin mengirimkan surat untuk kolega yang berada jauh dari anda. Masalah waktu, anda hanya perlu kurang dari satu menit agar pesan atau surat anda disampaikan. Teknologi hanya merupakan salah satu produk buatan globalisasi. Globalisasi adalah suatu proses dimana antar individu, kelompok maupun negara saling berinteraksi satu sama lain melintasi batas-batas negara. Teknologi hanya merupakan satu dari sekian banyak ciri era globalisasi. Berkat teknologi, dinding-dinding pemisah antar budaya kini bisa dibilang sudah tidak setebal dahulu. Saat ini, kita bisa dapat dengan mudah mengkonsumsi dan mendapatkan gagasan-gagasan baru melalui pengembangan media massa yang melintasi berbagai ragam budaya. Namun dibalik kemegahan dan kemewahan globalisasi, ada beberapa hal yang akhir-akhir ini menjadi topik perdebatan. Arus globalisasi yang begitu deras kemudian telah menyeret budaya-budaya lokal yang mempunyai nilai-nilai yang berbanding terbalik dengan budaya global saat ini. Maka dari itu, tulisan ini khusus menyorot relevansi budaya lokal dan dampak yang diakibatkan satu sama lain.

Perubahan budaya yang terjadi di masyarakat tradisional yang dahulunya merupakan masyarakat tertutup dan kini menjadi lebih terbuka adalah salah satu dampak dari globalisasi. Interaksi budaya yang terus menerus terjadi setiap hari beperangaruh terhadap sistem sosial masyarakat adat. Media massa saat ini sangat banyak menampilkan tayangan-tayangan yang menjunjung tinggi budaya global. Kemudian, mudahnya akses internet yang mendatangkan berbagai informasi dari berbagai belahan dunia mempunyai peran besar terhadap maraknya interaksi antar budaya. Berbicara tentang mudahnya akses internet, internet telah memberikan banyak manfaat di masyarakat luas. Banyaknya beasiswa yang bertebaran di situs-situs resmi universitas internasional memudahkan generasi muda untuk mendapatkan informasi mengenai beasiswa yang memang disediakan oleh universitas asing. Terbukti, hal ini telah membantu banyak generasi muda untuk meningkatkan kompetensi diri demi menjadi bibit-bibit kompeten dengan standar internasional. Namun Indonesia kini tengah mengalami dilema akan maraknya interaksi antar budaya. Komunikasi dan sarana global telah menghilangkan batas-batas budaya. Tayangan yang di tampilkan media seperti televisi, majalah remaja dan sebagian dari situs-situs di internet merupakan tampilan budaya  kental dan gaya hidup negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat. Film-film hollywood yang kerap di tayangkan seakan mengglamorisasi budaya liberal pada remaja-remaja Indonesia. Sedangkan tatanan-tatanan moral yang merupakan filosifi budaya Indonesia asli mengalami kemunduran drastis.  Remaja masa kini merasa bahwa eksistensi dirinya hanya akan terbentuk jika ia telah mengikuti gaya hidup budaya liberal yang merupakan ciri khas negara adidaya. Ini adalah ironi globalisasi bagi negara ini.  
Media seperti televisi yang seharusnya menjadi penyokong ilmu bagi masyarakat kini hanya penuh dengan sinetron-sinetron dengan tema yang tidak jauh dari roman picisan belaka dengan sorotan kehidupan liberal. Artis-artis yang ditampilkan kerap berbau seks dan merupakan penganut hedonisme. Tak tampak lagi tayangan edukatif yang mendorong masyrakat untuk menjadi produktif. Sebaliknya, yang dapat disaksikan hanyalah tanyangan yang merupakan adopsi dari budaya liberal yang berbanding terbalik dengan filosofi budaya lokal. Dampaknya sangat signifikan dan ironis. Survey yang dilakukan Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) menemukan fakta bahwa ternyata remaja putri berusia 14 sampai 19 tahun, persentasenya lebih tinggi dari pada remaja putra soal pernah berhubungan seksual yakni 34,7% untuk permpuan dan 30,9% untuk pria. Demikian juga untuk remaja berusia 20 sampai 24 tahun, remaja perempuan 48,6% dan pria 46,5%. Bahkan berdasarkan penelitian Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan serta Pusat Pelatihan Bisnis dan Humaniora selama 3 tahun (1999 – 2002) pada tempat kos mahasiswa di Yogyakarta menunjukkan 97,05 persen dari 1660 mahasiswa yang diteliti sudah hilang keperawanannya. Ironis bukan? Melihat semua problematika ini, sifat konservatif memang sangat dibutuhkan terumata dalam menjaga nilai-nilai luhur budaya Indonesia karena kalau sampai hal ini berkelanjutan, tentu saja akan sangat merugikan bagi bangsa ini.
Bangsa ini perlu pembangunan karakter nasional yang kuat. Tak ada salahnya mengadopsi hal baik dari budaya lain, namun sangat baik jika kita dapat terhindar dari hal-hal buruk yang bertentangan dengan nilai luhur budaya bangsa. Bangsa ini butuh generasi muda yang kuat, produktif, cerdas dalam memilih mana yang baik dan mana yang benar bagi diri sendiri maupun bagi bangsa ini. Bangsa ini tidak butuh generasi yang hedonis dan konsumtif. Filterisasi budaya merupakan hal yang tepat untuk dilakukan anak-anak bangsa dewasa ini. Sudah sepatutnya generasi muda sadar akan tugasnya sebagai penyelamat bangsa bukan penghancur dan pengkhianat bangsa ini. Generasi muda yang baik tidak akan membiarkan nilai-nilai luhur budaya bangsa ini pudar dan hilang.

Source :

Redaksi. Separuh Dari 63 Juta Jiwa Remaja Di Indonesia Rentan Berprilaku Tidak Sehat.

       

0 Comments: